Meneguhkan Sekolah Berkecerdasan Majemuk
Bukan eranya lagi sebuah institusi pendidikan menganggap siswa bagaikan kertas kosong yang bebas untuk ditulisi apa saja semua gurunya. Atau meminjam istilah Paulo Freire, menggunakan “gayabank” (banking of education system) yang selama ini menjadi patokan serta rujukan dalam proses pendidikan nasional.
Bahkan sangat mungkin model banking of education system masih saja dipraktikkan oleh sebagian sekolah-sekolah bertaraf unggulan. Secara tidak langsung, sekolah unggulan inilah yang akan mencetak manusia-manusia menjadi harus seragam. Padahal, salah satu ikhtiar untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas belajar mengajar bagi setiap kemampuan siswa yang beragam.
Dalam rumusan UU Sisdiknas Tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Anak didik dan proses pembelajaran merupakan dua dimensi berbeda yang perlu disinkronisasikan secara holistik dan terpadu.
Secara makro, keberhasilan pendidikan Indonesia sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro bernama “sekolah”, yang tidak lain adalah “jantung” keberlangsungan untuk kehidupan ke depan. Baik buruknya individu, keluarga, masyarakat, dan negara diprediksi –salah satunya– merupakan hasil dari proses belajar (baca: pembelajaran) yaitu sekolah. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya (Susanto, 2005).
Kecerdasan
Setiap individu mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Kecerdasan majemuk (multiple intelligences), menurut Gardner (1983) meliputi sembilan kecerdasan. Yaitu linguistik, matematis, visual, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Teori tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas, karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Melalui multiple intelligences, aktivitas mengajar adalah ibarat air yang mengisi ruang-ruang murid. Namun ketika murid diibaratkan bagaikan botol, maka seorang pendidik dituntut untuk mampu menyesuaikan seperti botol; dan ketika murid ibarat seperti gelas, maka seorang pendidik juga dituntut dapat mengikuti seperti gelas. Yakni, mengedepankan dan menumbuhkembangkan sikap kritis dan kreatif peserta didik.
Peserta didik bukan serta-merta dipahami sebagai objek tersendiri yang harus digarap dan diisi. Peserta didik harus diterima sebagai subjek yang dilengkapi kemampuan untuk mengubah realitas ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, sekolah berwawasan multiple intelligences secara umum dapat diartikan sebagai sekolah yang menggunakan proses pembelajaran yang memberi “ruang gerak” bagi setiap individu siswa untuk mengembangkan potensi kecerdasannya.
Siswa dituntut agar dapat belajar secara enjoy, tidak merasa terpaksa, dan memiliki motivasi yang tinggi. Pengembangan multiple intelligences siswa merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan siswa. Melalui berbagai pertimbangan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari masing-masing individu, maka seorang pendidik/orangtua diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih gaya mengajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa.
Kreativitas
Pada hakikatnya, pembelajaran sekolah berwawasan multiple intelligences dapat juga dimaknai sebagai mediasi untuk membiarkan anak didik untuk selalu kreatif. Tentunya, kreativitas yang dibangun adalah bentuk ke-kreatif-an yang dapat mendukung terhadap keberlangsungan proses pembelajaran dengan menghasilkan target prestasi akademik yang membanggakan.
Proses pembelajaran tak sekadar masalah cara belajar, melainkan menyangkut cara terbaik bagi seseorang untuk menerima dan memahami informasi. Pada umumnya orang belajar dengan membaca, tapi orang-orang tertentu dapat memahami lebih baik dengan cara mendengar atau mengamati.
Ada juga yang senang berdiskusi dengan orang lain, tapi ada yang lebih cepat mengerti dengan cara melihat gambar atau bagan. Dengan cara seperti itu berarti tidak ada anak yang tidak berbakat. Semua pasti punya bakat meski masing-masing anak bisa berbeda bakatnya. Anak didik dikatakan berbakat ketika kreatif dan produktif.
Proses pendidikan seharusnya memberi tempat kepada inside-out, proses pemberdayaan diri, berdasar paradigma, karakter, dan motif sendiri. Di dalamnya, pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan. Hasil dari pembelajaran yang dikehendaki menjadikan anak didik sebagai penemu, desainer yang kreatif dalam bidang sains, art, dan teknologi menjadi pemimpin yang inovatif, punya jiwa entrepreneur yang kuat, dan menjadi pribadi yang saleh terhadap sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Hakikat dari tujuan sekolah berwawasan multiple intelligences adalah untuk menumbuhkan semangat belajar anak didik agar berkembang potensinya secara utuh. Melalui metode pembelajaran pendekatan multiple intelligences ini sekolah dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan kecerdasan pada pribadi anak didik.
Kemandirian
Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas. Anak didik bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadai, diberi peneguhan dan motivasi. Jadi, tugas guru adalah memacu kreativitas anak didik agar multiple intelligences yang mereka miliki bisa tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan.
Idealnya, pendidikan meliputi tiga hal utama yaitu fakta, konsep dan nilai. Fakta-fakta yang dieksplorasi harus dapat dikonseptualisasi untuk melahirkan nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Meningkatnya tantangan kehidupan di masa depan, menuntut pengembangan teori dan siklus belajar secara berkesinambungan. Hal ini, siklus belajar dapat dikembangkan dalam sebuah sistem pembelajaran menentukan terbentuknya karakter yang diharapkan pada diri siswa.
Pada dasarnya pendidikan merupakan proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) –meminjam terminologi Paulo Freire– yang berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil. Pendidikan akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) terhadap diskursus atau wacana yang menghegemoni dan menindas agar arus perubahan selalu terjaga dan terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.