Siapkah Guru Mengajarkan Berpikir Kritis?
Dalam Kurikulum Merdeka Belajar, guru diharapkan menghadirkan proses pembelajaran yang
menyenangkan dan bermakna. Peserta didik bukan hanya dapat mengidentifikasi permasalahan yang
terjadi, juga mampu secara kritis dan kreatif memberikan solusi pemecahan masalah.
Permasalahannya, apakah guru-guru berani mendorong peserta didik berpikir kritis dan kreatif dalam
memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat? Apa konsekuensi kalau sikap kritis dan kreatif
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Dua pertanyaan ini penting direfleksikan oleh guru dalam
mengembangkan sikap kritis dan kreatif peserta didik.
Kritis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam penganalisisan. Sementara kreatif punya arti memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengandung daya cipta. Menumbuhkan sikap kritis dan kreatif tentunya dapat dilakukan sejak dini,dengan melatih keberanian bertanya dan berpendapat.
Seorang guru bisa memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada peserta didik mempertanyakan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang berkaitan dengan materi yang dipelajari. Persoalan yang terjadi begitu banyak dan menarik untuk didiskusikan oleh peserta didik; harga naik, kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, gunung-gunung terlihat semakin rusak, bukit-bukit menghilang, dan sungai-sungai tidak bisa lagi digunakan untuk berenang, polisi menembak polisi, rektor ditangkap karena suap, sementara pelaku usaha di desa-desa semakin menyusut jumlahnya –itu hanya
sebagian kecil saja.
Dalam salah satu modul Merdeka Belajar dalam pelatihan mandiri yang saya ikuti, untuk jenjang SMA peserta didik dapat merefleksikan pengalamannya terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat dapat dijadikan bahasan diskusi, dan dalam tataran aksi nyata murid dapat menolak ketidakadilan yang ada di lingkungan sekitarnya, dengan mengekspresikan pemahamannya melalui berbagai media.
Sementara dalam berpikir kreatif, pada jenjang SMA peserta didik dapat mengeksplorasi dan
mengekspresikan pikiran dan atau perasaannya dalam bentuk karya dan tindakan, serta mengevaluasi dan mempertimbangkan dampak dan risikonya bagi diri dan lingkungannya dengan menggunakan berbagai perspektif. Pembelajaran bukan hanya sekadar menghafalkan konsep, namun juga dengan tindakan nyata melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Perlawanan bukan hanya soal kisah tentang ketakutan melihat kenyataan, namun juga membawa pada suasana gembira. Kegembiraan yang didasarkan pada perlawanan sebenarnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Manusia pada dasarnya akan gembira kalau dapat mengatasi masalah, lebih lebih dapat membantu kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Mereka akan sedih kalau menyadari dirinyatidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Kegembiraan tidak sama dengan bersenang-senang yang cenderung melupakan keadaan, namun bagaimana proses pembelajaran membuat guru dan peserta didik merasa gembira mengungkap persoalan yang mereka hadapi. Model pembelajaran yang menghadirkan kegembiraan karena membutuhkan proses yang cukup lama bisa jadi akan mengabaikan beban kurikulum yang harus diselesaikan, tapi pembelajaran akan jauh lebih bermakna bagi peserta didik karena dilaksanakan secara mendalam
Bila kita membaca alur pembelajaran, maka peserta didik di jenjang SMA bukan hanya belajar kritis dan kreatif, namun juga melakukan aksi nyata memberikan solusi permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bila tujuan pelajaran dikaitkan dengan kemampuan peserta didik untuk mengatasi permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat, kalau benar diterapkan, maka tidak menutup kemungkinan akan berhadapan dengan dilema moral. Sebab bakal ada sejumlah pihak yang dominan yang selama ini menikmati kerusakan terusik. Bagaimana kita dapat melihat dilema moral dapat terlihat dari
langkah-langkah pembelajaran.
Proses
Langkah-langkah pembelajaran bisa dilakukan semisal pada bagian memperbaiki lingkungan, dengan
menceritakan keelokan lingkungan yang hilang, bagaimana upaya memulihkan hubungan yang retak
antara peserta didik dengan lingkungan di mana mereka tinggal, dalam upaya mengaitkan konsep dengan
permasalahan kontekstual.
Peserta didik bisa menuliskan cerita tentang bagaimana sungai-sungai yang ada di sekitar mereka,
bagaimana mereka atau orangtua mereka dulu bermain-main di sungai, dan sejak kapan sungai-sungai
mulai tercemar, siapa yang membuat sungai-sungai penuh dengan limbah, dalam upaya meningkatkan
keterampilan, dengan mendatangkan tenaga ahli untuk menjelaskan kerusakan sungai.
Peserta didik dapat merancang dan membuat penelitian sederhana dan berdasarkan riset. Peserta didik
melakukan aksi, misalnya, kampanye untuk memperbaiki sungai yang rusak. Ketika melakukan kampanye,
baik melalui media daring maupun luring atau langsung pada masyarakat, peserta didik dapat
menceritakannya melalui tulisan, video, maupun poster. Kreativitas melakukan aksi penting dilakukan.
Apakah peserta didik mau diajak jujur berbicara perusahaan atau pihak mana saja yang terlibat merusak
lingkungan, atau ada pihak-pihak yang ditutupi demi keamanan peserta didik dan guru?
Soal demokrasi, terutama untuk peserta didik jenjang SMA, mereka dapat meneliti betapa pentingnya
menyampaikan hak suara dalam pemilihan umum dan mencegah kecurangan dalam pemilu. Dalam
membahas pilkada, guru dapat menerangkan persoalan demokrasi, seperti dalam konteks lokal bagaimana
baik buruk dinasti dalam pemilihan pemimpin.
Bila dinasti itu berdampak kurang baik bagi proses demokrasi, tindakan apa yang diambil oleh peserta didik
dalam menghentikan regenerasi kepemimpinan dinasti, sementara daerah di mana sekolah itu berada
bupati yang memimpin adalah bagian keluarga dinasti, yang sedang berusaha agar anaknya dipilih
menggantikan ibunya. Apa guru berani mengambil risiko, mengajarkan kebaikan dengan menerangkan
konteks lokal kelemahan demokrasi kaitannya dengan keluarga dinasti?
Pengembangan sikap kritis tanpa perjuangan untuk memperbaiki keadaan adalah sebuah kepura-puraan.
Pengembangan sikap kritis hanya sebuah kesia-siaan bila sekadar pengetahuan tanpa aksi. Dan,
menganggap dunia secara hitam putih –pemimpin itu baik, guru selalu benar, polisi selalu memerangi
kejahatan, koruptor dibenci banyak orang– hanya akan memandulkan sikap kritis dan kreatif peserta didik.
Strategi
Menghormati murid sebagai intelektual, penulis, seniman, dan aktivis adalah pilihan dari strategi
pembelajaran yang patut dikedepankan, dibanding misalnya menganggap mereka sebagai anak kecil yang
harus dipintarkan. Memadukan komitmen antara membuat dunia anak-anak gembira dengan harapan
dunia menjadi lebih baik, atau dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara menghamba pada anak dengan kasih
sayang penuh, mempersiapkan generasi yang tahu dan mau berbuat untuk kepentingan bangsanya.
Menjadikan peserta didik bukan hanya mengetahui konsep, namun juga mengembangkan keterampilan
dan sikap. Mengajak murid belajar melihat kenyataan dan mengaitkan konsep dengan permasalahan yang
terjadi, serta melakukan aksi melakukan perlawanan untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi
masyarakat dan kehidupan murid di masa yang akan datang membuat pembelajaran lebih menyenangkan
dan bermakna dibanding misalnya peserta didik hanya mengungkapkan keresahan di dalam kelas.
Bila semua sekolah melakukan aksi nyata dalam menumbuhkan sikap kritis dan kreatif peserta didik untuk
memperbaiki permasalahan yang dihadapi masyarakat, tentu dampaknya akan terlihat. Namun, apakah
guru-guru berani mengajarkan sikap kritis untuk mengatasi persoalan di tengah-tengah masyarakat? Dan,
berani mendorong kreativitas peserta didik untuk menunjukkan sikap kritis peserta didik?